Wednesday 13 May 2009

Safari 109

Bus dengan muatan maksimum 50 kursi itu lamban melaju. Beberapa kali tergopoh menyelinap, lalu di kali berikutnya terhenti tiba-tiba.Dan segera aku akan mendengar seperti cacian-cacian memetak telinga, dari mobil-mobil itu. Seperti saat mobil berhiaskan bunga meluncur di waktu siang, sore, malam, bahkan dini hari. Tidak satupun yang mendengar menggerutu, bahkan beberapa akan segera menyambut dengan bunyi serupa siul. Bunyi yang tak lebih indah dari cericau burung Manyar itu, mencuat-bersahut dari mulut-mulut perempuan Mesir: seperti bunyi "la", atau "lu" yang terulang tanpa jeda sepanjang nafas yang dihirupnya. Sontak mobil pengiring pengantin itu akan bersorak dengan deru dan klason-klaksonnya.

2 jam kemudian, bus akan lebih lamban, tersendat-sendat; terminal Tahrir. Dan beberapa menit kemudian saya pun tidak lagi sabar untuk terus duduk menadah peluh. Harus segera turun!
Aku sengaja mendatangi tempat yang tidak lagi asing, bagi siapa pun; “Wikalah”. Saya akan lebih lega untuk menyebut dengan 'kawasan'. Setidaknya akan lebih aman dari segala tuntutan akan batasan-batasan layaknya pada setiap apa yang disebut ‘tempat’—Sementara semisal pedagang sepatu, kaos, telah bermunculan menebar sedari terminal Tahrir.

"Wikalah", kawasan yang tidak asing bagi sesiapa. Bagi konsumen, murah ialah pilihan. Dan 'bebas memilih' pun pilihan lain yang tidak kalah utama. Hukum jual-beli melegitimasi kebebasan ini. Dengan demikian prinsip ideal konsumen akan tergapai: barang bagus, dengan nilai tukar semurah mungkin. Di sinilah "kebetulan-kebetulan" menjadi tuhan; dengan sedikit kejelian, dewi fortuna menjadi penentu nasib baik.

"Wikalah" ialah akar dari sekian muasal dialektika. Bayangkan: sekian konsumen yang datang silih berganti itu, pada tempat dan di bidang lain, akan menjadi produsen. Sementara ratusan produsen pun akan mengalami hal sama, pada tempat, bidang, dan waktu lain. Kini tiap per-seorang telah memiliki dua prinsip yang bertentangan samasekali.Tarik ulur dua prinsip dalam diri masing-masing mungkin terjadi sewaktu-waktu, membenihkan kekhawatiran, atau kelicikan-kelicikan. Dan akan lebih kuat, serta semakin nyata lagi ketika antar individu tengah bertemu: kongkalikong, negoisasi, hingga terbentuk kesepakatan yang murni berdasar atas 'tarik-ulur keuntungan'. Bukankah prinsip ekonomi ialah "mendapat keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya"?! Jangan sebut-sebut moral dalam dunia ekonomi; kesopanan, unggah-ungguh, saling menghargai. Karena semua itu tidak ada dalam kamus pakar ekonomi. Dan dimana, kapan, pun pada bidang apa saja, profesionalisme memiliki satu arti: berlaku sesuai prinsip, lalu menggapai tujuan secara sempurna dalam batas waktu yang terlah penuh perhitungan. Sementara moral itu; kesopanan itu; saling menghargai itu; unggah-ungguh itu; Semua telah mengalami reduktifikasi-reduktifikasi makna, dan lalu menjadi alat manipulasi.

Di tengah hiruk-pikuk orang-orang pasar itu, saya berfikir: Sungguhpun prinsip tersebut kemudian menjadi teori, kemudian meradang dalam segala segmen kehidupan, maka yang menjadi korban utama ialah kualitas. Kualitas atau mutu ini ialah obyek ideal bagi konsumen, pada waktu yang sama ia adalah nadir bagi produsen/distributor. Muncullah sebuah abstraksi baru dalam benakku: dua, tiga, empat, hingga sekian belah pedang bermata tajam tengah bergesek percikkan api. Bukan perang idealisme—meski mirip, ideologi, tapi perang kehidupan. Maka, pasar menjadi ladang paling dinamis, produktif, hingga mampu mencipta tuhan-tuhan baru: tuhan ego, tuhan keberuntungan, tuhan emosi, tuhan gelora, dll. Seandainya saya seekor Khimar yang tak memiliki malu, bolehlah saya tersungkur saat teringat bahwa dimana-mana pasar telah subur: pasar pendidikan, politik, agama, hingga pasar manusia.

Pegal kaki melangkah menjajagi pasar itu, “wikalah” itu, dan bahkan saya telah menjadi satu dari ratusan petarung-petarung itu. Tidak perempuan, tidak laki-laki, tua-muda, semuanya seolah yang paling kekar: dengan mulut yang seumpama retoris handal, otak cerdik seolah politikus dunia, atau bujuk rayu seperti penari ganjen di jalan-jalan dan gang remang.

Pasar menuntut atas adanya sikap. Semakin bertambahnya kebutuhan, kesadaran akan penting adanya solidaritas, kebersamaan, pun semestinya meningkat: bahwa manusia bukanlah Tuhan yang terlepas dalam kesendirian-Nya, dan senantiasa Maha. Namun begitu, kualitas atau mutu patut terabai dari anasir-nasir subyektif; baik produsen, atau pun konsumen. Sehingga ia tidak oleng oleh karena kepentingan-kepentingan. Maka, selain berpotensi mencipta Tuhan, pasar pun mampu memberikan justifikasi atas ke-Esa-an Tuhan.

Senja menggenang di langit barat iringi matahari yang terburu ingin tenggelam. Seakan sang Surya benar-benar telah bosan dengan segala pertarungan-pertarungan. Maka, saya mencoba bercerita tentang keunikan: di pasar itu, ya, “Wikalah” itu, dari ratusan hingga ribuan petarung, mereka memiliki keseragaman nama: Ahmad, atau Muhamad. Dua nama lain; Musthafa, Abdurrahman, sangatlah jarang.
Bus bernomor 109 datang, aku segera naik untuk kembali ke H-10, tempat dimana aku tinggal. Tak lupa aku berdoa penuh cemas: “Tentang 2 nama tersebut, semoga sang Surya hanya bertanya pada anak-anak Indonesia-Mesir. Sehingga esok ia mau bersinar, meski hanya untuk membuktikan tentang keunikan itu..”

Stigma

Ia adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: menerima, atau acuh (?). Karena ada tuntutan ‘berat’ ketika ia harus mengambil kemungkinan ketiga, menentang: ia harus melakukan diagnosa ulang, atau membuang anggapan, atau bahkan realita cacat itu.

Lili berangkat ke Kairo oleh karena tuntutan pragmatis sama sekali: ekonomi. Gilang, anak semata wayangnya, harus tetap hidup normal: sekolah, sekaligus tidak terpinggirkan dari masa mudanya yang ‘indah’. 4 tahun lalu Lili mengajukan khulu’ pada sang suami. “Bu, dengan mata kepala saya sendiri saya melihat Bapak selingkuh,” demikian kata-tegas Gilang mencabik kepercayaan Lili, pada sang suami, yang telah limbung sejak beberapa bulan sebelumnya.

Perceraian adalah aib. Mungkin ia menjadi sebentuk bukti bahwa wanita memiliki hak, dan bahwa perempuan pun memiliki kewajiban yang sama dengan lelaki: membela tegas atas hak-haknya. Kepatuhan terhadap suami ialah etika inter-relasi dalam memangku-melaksanakan kewajiban, dan menerima tulus atas hak masing-masing. Maka, ada semacam paradoksi makna perceraian: wujud ketegasan wanita, atau ketidaksanggupan masing keduanya dalam memahami hak dan kewajiban (?).

Bukan hanya karena kewajiban, cinta Lili harus mampu membebaskan anak semata wayang itu dari realita sadis-ironis yang mungkin menyudutkan psikologinya. Gilang harus hidup normal, pikir Lili matang, ‘saya harus bisa menyingkirkan kenyataan ‘gila’ itu dari memori Gilang!’. Maka, Lili berangkat ke Kairo, menjadi Tenaga Kerja, karena pengorbanan dan kerja keras sekalipun harus dengan pertimbangan yang sempurna. Sekarang ini jihad serta ibadah bagi perempuan, menurutnya, bukan sekedar ketabahan dan kesabaran. Tapi ia harus kreatif dan berani mengambil resiko, karena Gilang butuh untuk harus hidup normal, dan tanpa cacat mental.

Kini ia tinggal pada sebuah flat di kawasan distrik 10 kota Kairo, di tepian gurun. Satu minggu ia habiskan waktu di daerah Downtown. Sebagai ‘rewang’, ia memiliki hanya 2 hari libur; Jum’at dan Sabtu. Dan ia mendapatkan uang sebesar 450 Dollar setiap bulan untuk uang upah. Ah, Lili tak lagi asing dengan Dollar: istilah kurs pun telah cepat ia kuasai. Katakanlah 100 Dollar setara dengan jumlah Le. 500, Lili tidak perlu berfikir lama untuk menentukan jumlah dalam satuan Rupiah; cukup melipatkannya, Rp 2000 x 500. ¼ dari upah satu bulan Lili hampir sama dengan gaji bulanan PNS di Indonesia sana.

Menjadi ‘rewang’ ialah profesi baru bagi Lili. Tidak hanya patuh, Janda berumur 27 tahun itu acapkali harus memaksakan ketulusan dalam menjalankan segala bentuk perintah Sang majikan. Bagi saya ini penting: bukan hanya subtansi kalimat, nada, sintaksis, intonasi, akan turut membentuk makna sebuah perintah. Khususnya kesan. Lili tidak pernah mengerti perihal perbudakan yang sudah berabad silam dikecam oleh dunia. Meski begitu, ia dapat merasakan betul adanya dialektika keji yang menempatkan ‘rewang’ sebagai obyek, sementara majikan sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Lili tidak peduli, mungkin ia akan memahaminya sebagai tuntutan profesionalisme kerja.

Ia adalah korban stigma. Dunia TK ialah dunia hura-hura, tidak lelaki tidak perempuan, dunia yang perlu bingar, demikian Lili mendengar entah dari siapa. Mungkin saja itu ungkapan mencibir, atau sesumbar insan oportunis (?). Lili tidak berani memastikan. Karena dua-duanya ada: sebagian merasa enggan, malu, sinis, atau emoh dekat dengan TK, ada pula dari bagian tersebut yang turut-numpang berfoya.

Terlepas dari benar tidaknya apa yang didengar oleh Lili, potensi munculnya anggapan negatif itu sangat besar. Sama besarnya dengan kemungkinan adanya tradisi ‘pasar bebas’ dalam dunia mereka. Bagaimana tidak?! Sudah menjadi semacam fitrah manusia ialah, ia akan lebih senang berada di atas; yang memberi; mulia. Maka, menjadi penting untuk memperhatikan betul apa bentuk kerja para TK(w/i); baik legal, dan terlebih yang dikarenakan oleh alasan semisal Lili, ibunda Gilang.

Lili bukan perempuan agamis. Perempuan Bumiayu kelahiran 1982 itu pun tidak pernah mendengar sejarah perjuangan Karlmarx. Namun, ia dapat merasakan bahwa perbudakan, dalam bentuknya yang paling sederhana sekalipun, tidaklah baik.

Seleksi alam terjadi begitu natural, dan menyudutkan mereka. Namun, stigma muncul secara disengaja, dan dengan begitu tentu lebih menyakitkan. Dengan lebih santun, sebagian menyebutnya ‘dosa, atau konsekuesi sosial’.

Lili adalah korban stigma. Oleh karena itu ia murung, barangkali tengah menimbang: ada berapa Lili di seluruh dunia ini, dan sampai kapan ‘pasar bebas’ itu akan terus tumbuh? Sebuah kewajaran jika mereka memiliki prinsip: ‘Pandai-pandailah menghibur diri meski dalam keterasingan”.


Monday 20 April 2009

Antara Proyek Dalsikin dan Proyek Dalfachir

(Sebatas refleksi atas ambiguitas proyek di kampong ‘sempalan’)

Kenyataan-kenyataan bukan kurang benar atau lebih benar, tetapi kurang diketahui atau lebih diketahui saja
[S.M. Liverty]


Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya. Dalam jeda waktu dimana aku terlipat-gilas oleh cerita “Orang-orang Proyek” karya A. Tohari, yang melukis idealisme Si anak gaplek dan thiwul; demi penghormatan atas ilmu mulia yang tergantung-genggam pada gelar, Kabul, melepas-lapang sebuah proyek awal yang siap menguji-buktikan ke-Insinyur-annya; saat aku harus mengakui Si impoten, Pak Tarya, yang berwibawa di balik senandung falsafi Asmaradana dengan iringan siul lirih seruling bambu; dan saat aku tersadar akan iba Pak Kades, Basar, terhadap kondsi sosial-religius masyarakat yang tergumam nyata pada cerita ber-setting waktu 17 tahun silam.

Bukan mudah mengukur keterpurukan yang telah, dan sedang mengakar: baik dengan analisa regresif-liberal sekalipun. Karena pada saat yang sama capaian-capaian tradisi patut mendapatkan apresiasi. Bukan terpa bengis-caci. Atau bahkan, mencipta preposisi radikal dengan cara mendudukan—dengan sinis–modernitas di hadapan masa lalu sebagai lawan. Sehingga membenihkan kegagapan-kegagapan sosial pada bujang masa.

Pada masa yang tak terlampau jauh, pra Orde Baru telah menciptakan jiwa mulia semisal Pak Tarya; membangun idealisme mulia sebagaimana terejawentahkan pada sikap Kabul yang membela-mati gelar suci akademik; ibu Wiyoso yang menawarkan arti penting masa depan, yang lalu membuat Yos, sang putra, harus menimbang-setara cinta sebagai problema rasional dan egoisme. Cintapun mengenal etika, begitu kiranya prinsip yang ia pegang.

Lagi-lagi politik menggilas-retaskan kejujuran dan kesungguhan. Alih-alih mengangankan kesalehan sosial dengan janji visionaris, malah menjerumuskan Basar pada penyesalan atas pengalaman akademisnya. Sukses membuat mentas Ir. Dalsikin dari jurang kemiskinan, namun lalu menjadikannya sebagai hamba ke-glamor-an. Bahkan negara yang telah melegal-wajarkan segala bentuk ‘permainan’ instansif. “The country can do no wrong”, akhirnya pun menjadi asumsi yang harus merasuk-sakiti jiwa akademisi. Hingga lubuk hati sang Insinyur hidro, Samad, adik Kabul. Sungguh ironis, Revilatalisasi feodalisme kembali mempertaruhkan masa depan masyarakat. Bukan sekedar jembatan garapan Kabul yang tengah dipertaruhkan mutu serta masa pakainya, dan bahkan mimpi-mimpi kawula muda pun telah terbeli.

Aku memulai saat kabut kerutkan pagi dengan rejam dinginnya, dengan pertanyaan yang cukup mengiris: Dan tanah-pijakku, benarkah sedang menjalani masa “Orang-Orang Proyek”; mutu akademik dipertaruhkan dengan waktu dan kuasa suksesi instansi tertentu, tanpa menambah fasilitas kecuali hanya mengurangi kuantitas? Tanpa mendamba kualitas, akan tetapi memuja ‘usai lekas’? Atau, karena telah ada pada masa yang lebih kini, tanah-pijakku telah terjerembab pada dialektika ‘mati’, dan hanya berpotensi untuk menopang eksistensi—agar tetap eksis? Mana yang lebih pantas, menghitung semisal Kabul, atau menyembah semisal Ir. Dalsikin sang Pemborong itu?

Perihal Obsesi

Baik, semua seolah telah mengakui bahwa pendidikan ialah struktur. Dari dimensi lain, kultur pun turut melegitimasi bahwa, pendidikan adalah gedung-gedung sekolah; lembaga-lembaga; diktat-diktat; jadwal-jadwal; rapot, rangking, dan gelar-gelar. Fenomena positif pergeseran dari ‘yang tak beraturan’ menuju ‘keteraturan’. Melandasi asumsi ini ialah, setiap individu merupakan entitas ‘tak sempurna’ yang memiliki selaksa keinginan. Kalau boleh saya bayangkan, keinginan adalah relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek yang kemudian menghasilkan bias: obsesi. Oleh karena itu, akan kita dapati bahwa relasi ini mewujud dalam pola interaksi ‘tak beraturan’.

Adalah kenyataan lain, relasi inter-subyektif dengan obyek-obyek tersebut tercover dalam pola hubungan yang lebih logis. Sengaja saya katakan logis karena, interaksi antara obyek-obyek dengan inter-subyektif ini mampu memompa kreatifitas individu dalam mencipta ‘anak obyek’. Bukan lagi pola interaksi simplistik yang terkatung oleh obsesi yang sama sekali fluktuatif: kembang-kempis, pasang-surut, naik-turun. Pada pola yang kedua, ‘anak obyek’ adalah hasil kinerja mekanistis nalar-subyek yang mencoba mengakumulasikan obyek-obyek. Oleh karena itu, siginifikansi obsesi bukan lagi hanya sebagai elemen motorik. Lebih dari itu, ia telah terlepas dari ‘ketidakberaturan’, lalu mengendap membentuk sebuah paradigma: semacam pola berfikir matang yang menuntut adanya langkah-langkah aplikatif ‘yang beraturan’.

Sebagai misal dari pola relasi inter-subyektif yang pertama ialah pola pikir anak didik—mulai dari—Taman Kanak-kanak, hingga Sekolah Menengah Pertama. Sekilas misal ini muncul dari cara berfikir linear, dan terlalu menggenalisir. Akan tetapi, melalui lembaga-lembaga pada taraf tersebut kita dapat melihat peran penting pemangku otoritas birokrasi dalam membentuk paradigma anak didik. Terlepas dari metodologi dan cara pendekatan yang digunakan oleh para pengajar, dapat kita lihat jelas bahwa pada masa-masa ini anak didik lebih cenderung meniru. Maka, akan menjadi problema tersendiri saat pendidikan telah digubah sedemikian rupa menjadi lembaga yang serba birokratis. Muncul semacam dualisme tak berimbang; pengajar sebagai ‘pekerja’—dalam maknanya yang ekonomis an sich, atau pengajar sebagai tonggak masa depan peradaban (baca: fenomena PNS dan dampak negatifnya terhadap psikologi anak didik).

Membincang pendidikan ialah menyoal psikologi anak didik. Menganalisa kecenderungan-kecenderungan. Sementara, psikologi anak didik pada usia senja—TK hingga SMP—ialah ragam psikologi individu yang lentur. Memiliki ketergantungan yang teramat kuat terhadap obyek-obyek, dan atau obsesi yang didapatkan. Obsesi yang muncul spontan dari persentuhan langsung antara nalar-subyektif dengan obyek yang ditangkapnya.

Harga sebuah Proyek

Konon ada sebuah masyarakat mahasiswa/i yang berada dalam pangkuan Ir. Dalfachir. Sebutlah kampong ‘sempalan’. Dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa; baik mahasiswa ataupun mahasiswi. Diberi nama kampong ‘sempalan’, karena secara geografis ia terletak-terpisah jauh dari negara asalnya. Indonesia. Dan secara ontologis-kultural, kampong ini terletak di bagian kecil benua Afrika yang memiliki kultur Arab.

Pada dini masa jabatan, keresahan mendekapnya: prestasi anak didik menurun drastis. Maka, keresahan ini pun akhirnya menjadi tema pokok dalam acara rutin, Lokakarya. Ratusan stakeholders hadir, lalu muncullah konsensus-konsensus yang berupa kebijakan-kebijakan.

Apapun bentuk kebijakan tersebut, prestasi ialah bagian penting dari pendidikan. Namun, tidak kalah penting untuk menganalisa elemen-elemen pembentuk prestasi. Dan lebih penting lagi bersikap arif menilai unsur-unsur yang mempengaruhi spirit prestatif anak didik. Sehingga kebijakan-kebijakan tersebut tidak rentan—terhindar, dari penilaian peyoratif: kebijakan prematur!

Memandang kampong ‘sempalan’ ini, ada sebuah tuntutan untuk memposisikan mahasiswa sebagai subyek utuh. Mahasiswa yang memiliki nalar kreatif guna mencipta ‘anak obyek’ yang rigid dengan aplikasi-aplikasi ‘beraturan’. Maka, ada 2 titik nadi yang mesti tersentuh, sebelum masuk pada tahap perumusan-perumusan. Pertama: nalar kreatif, beserta unsur-unsur pembentuknya. Kedua: aplikasi-aplikasi yang tidak lepas-sinergis dengan kompleksitas sosio yang membantu mengontrolnya; mungkin berupa birokrasi-struktural, atau prinsip-prinsip privatif masing-masing individu.

Tak dinyana, kemungkinan kedua-lah yang disinyalir kuat telah banyak menopang kualitas pendidikan masyarakat kampong ‘sempalan’. Prinsip-prinsip privatif individu muncul sebagai reaksi positif atas format administrasi-struktural Universitas yang samasekali Arab(is). Maka tidak heran jika ada perbedaan definitif atas prestasi, antara Ir. Dalfachir dan masyarakat kampong ‘sempalan’. Karena bukan mustahil yang pertama memandang prestasi dari sudut pandang, ia (prestasi-red) sebagai bagian dari proyek birokrasi. Sementara yang kedua memandang prestasi sebagai keharusan-kompetetif. Terlepas dari adanya keterkaitan dengan prestatif menurut kacamata pendidikan struktural-birokratis ataupun tidak, yang jelas kurang etis jika menilai fenomena keterpurukan prestasi ini hanya dari satu sudut pandang. Apalagi bersesumbar dengan sedikit politis: “ini dunia proyek!”. Ironis![]

Determinisme Pendidikan; Hanya kata untuk buah Lokakarya

16 November. Patut dicatat sebagai hari disahkannya sebuah program yang kelak akan mempertemukan mahasiswa/i dengan para dosen dalam ruang-ruang khusus; mempertemukan keduanya pada waktu-waktu tersendiri; memadukan kedua belah pihak dimana yang disebut pertama seolah seorang pesakit yang tercengang oleh laku pihak kedua—para dosen –selaku dokter. Program inilah yang kita kenal dengan sebutan Fushul at-Taqwiyah. Sebuah program belajar yang sengaja dirilis guna menyokong prestasi Masisir.

Terlepas dari intensifitas dan besar-kecil pengaruh yang acap sebagai alas penilaian suksesi sebuah program, penulis tertarik, dan merasa perlu untuk melihatnya sebagai sebuah fenomen yang lahir sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan. Bukan sebuah program yang muncul secara spontan, dan melulu dari manusia selaku homo faber. Sehingga rentan kritik, baik dari sisi landasan pikir yang kemudian membawanya menuju taraf ide, ataupun dari sisi politis-birokratif dimana program ini dimuncul-sahkan.

Kalau kita tarik pada titik sebermula progam ini, Fushul at-Taqwiyah ialah salah satu buah hasil dari Lokakarya yang diadakan April lalu. Gawe besar yang disinyalir akan menghasilkan ragam solusi melalui konsensus para Stakeholders mengenai penanganan terhadap kerapuhan prestasi Masisir. Dan benar, lahirlah beberapa kebijakan meskipun mayoritas lebih bersifat rekomendasif (baca: Draf hasil Lokakarya). Di sini, prestasi Masisir merosot adalah sebuah premis. Melemahnya prestasi menjadi akar masalah yang penting untuk segera diatasi. Pada sisi lain, tentu kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas Masisir sangat koheren, dan berbanding lurus dengan kualitas Kedutaan sebagai pemangku kuasa.

Terkait dengan Fushul at-Taqwiyah sebagai efek dari dinamika sosial pendidikan, ini tidak berarti bahwa program tersebut—dengan segala aturannya –muncul atas “desakan sosial”. Sebuah teori yang dicipta oleh Henri Bregson dalam analisisnya terhadap moral dan kehidupan etis, sekaligus sebagai counter atas rasionalitas Kant (baca: Filsafat Barat). Yang menarik ditilik bukan perhelatan antara peran insting dan rasio dalam menilai, membandingkan, lalu memutuskan. Akan tetapi, bagaimana kita melihat—tepatnya menilai—Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah efek dinamika sosial pendidikan dan pada saat yang sama ia adalah produk dari tahapan “evolusi kreatif” (meminjam istilah Bregson) yang potensial untuk berkembang secara terus-menerus. Pada taraf penilaian ini, tentu kita telah menelanjangi Fushul at-Taqwiyah dari bingkai programnya: kembali pada ‘embrio’ yang memicu semangat prestatif secara murni. Menurut saya, ini lebih mendasar daripada ia sekadar sebuah program yang bersifat ‘semu’dan sangat birokratis.

Pada tatanan realitanya, Fushul at-Taqwiyah berjalan masih sebagai sebuah program. Ini yang layak disayangkan. Entah disengaja ataupun tidak, yang jelas ia terjebak dalam kerangka program yang sangat mekanistis, dan tidak menyentuh—alih-alih mampu merangsang –elan vital prestasi pendidikan itu sendiri. Kemudian sangatlah layak jika pretasi yang diimingkan sebagai wujud nyata dari kualitas dan mutu intelektual diduduk-sandingkan dengan nilai yang serba formalis-birokratis.

Sampai di sini sebenarnya kita dihadapkan pada kontradiksi antara kualitas versus prestasi. Pertikaian yang lamat-lamat ada dimana kualitas tidak terkandung secara apik dalam prestasi formalis-birokratis. Dan sebaliknya. Namun, tidak semestinya kita larut dalam pembahasan ini. Karena hal ini, menurut penulis, adalah realita yang sama sekali tidak bijaksana meski samar adanya. Realita yang lebih menarik dilirik ialah bahwa Masisir di sini diposisikan sebagai masyarakat yang sama sekali unconcious (Tak sadar): semua laku studi-nya harus dideterminir oleh aturan-aturan formal-legitimasif. Maka, dengan serta-merta logika-kreatif, cita-cita, keinginan, dan segala struktur serta psikologi individu yang memotori laju kehidupan masyarakat, dilawankan dengan keadaan unconcious. Pada titik inilah sinergitas antara nilai dasar pendidikan dan program yang memiliki cita prestatif hengkang.

Sebuah program yang semestinya selaras dengan visi-misi serta epistema falsafi, dalam hal ini mampu mendobrak batas kesadaran masyarakat akan nilai dasar pendidikan, malah dinilai kuat, bahkan mengacuhkan ke-‘tidak sadar’-an tersebut dengan menjejali program baru yang lebih ideal-formalistik-deterministik. Selintas lalu pendapat ini mengindikasikan adanya tuntutan kebebasan. Dan memang kebebasan penting ada, dan dimiliki, bukan ia yang seringkali diartikan sebagai “liar dan tanpa aturan”. Namun, lagi-lagi penulis mengacu pada pemikiran filosofis Henri Bregson yang memaknai kebebasan sebagai kesadaran yang berupa gerak, perkembangan, peralihan terus-menerus. Karena kesadaran ialah bersifat dinamis dan kreatif.

Dalam ranah yang lebih fundamental, pendidikan tidak lain adalah sebuah proses yang mempunyai potensi utama sebagai pembina hidup manusia menuju taraf kehidupan yang lebih layak, mulia dan bijak. Sehingga ia berpotensi menggerakan rasio, menuntun logika dan menilai ilham secara sinergis; baik dalam alam sadar ataupun alam bawah sadar. Lalu seiring kemudian ia mengenal dan terejawentahkan dalam sistem-sistem yang lebih partikular. Maka, penulis rasa kurang etis jika sebuah program yang diciptakan dan disinyalir kuat sebagai penyokong prestasi malah membawa insan pelajar pada realita birokratisasi pendidikan.

Fushul at-Taqwiyah sebagai sebuah program yang dicanangkan guna menekan prestasi akademik Masisir patut kita dukung. Namun begitu, akan fatal jika program ini tinggallah sebuah program yang menghantarkan Masisir hanya pada pretasi akademik yang bersifat simbolik; menuntun Masisir menuju altar event ‘Takrim an-Najihin’; membina Masisir untuk tunduk pada diktat literalis, tanpa harus mengenal analisa kritis. Maka tradisi baca, berfikir, menganalisa, berdiskusi, menulis, akan semakin tergilas. Kecuali hanya dimiliki oleh segelintir orang, yang—bahkan–lebih layak dihukumi ketiadaanya samasekali. Bahkan, opini kritis yang mungkin memicu munculnya polemik (sebagai sebuah tradisi intelektualitas yang sehat) acapkali dipupus-hentikan dengan cara—yang menurut sebagian kalangan ialah santun, kekeluargaan.

Sebagai sebuah catatan, setiap individu manusia—dengan segala kompleksitasnya—memiliki berbagai potensi yang mungkin muncul-meretas, tentu bukan tanpa pemicu. Di sini unsur sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-religi, dan mcam lainnya memiliki pengaruh yang cukup kuat. Mengapa prestasi akademik Masisir merosot? Mungkinkah fasilitas yang masih kurang memadai? Mungkinkah sosio-religi dengan ragam perdebatan ideologisnya ikut andil? Mungkinkah sosio-ekonomi telah menghimpit semangat akademik? Mungkinkah sosio-kultur, politik, ikut berperan dalam keterpurukan ini? jawabannya ialah semuanya mungkin[]

Sunday 19 April 2009

Sajak Sana-Sini


Catatlah!
Kalian di sana
Dan saya di sini
Ada sebuah takdir yang sengaja di-be-ri
Dan tempuh-saut setipis lamat gedebog-gedebog pisang

Catatlah!
Kantor-kantor bukan badan prediksi
Tepat mujur, melesetpun tetap mujur
Lembaga-lembaga bukan tempat bersesaji
Terkabul syukur, tertolakpun harus ada tasyakkur
TPS-TPS bukan kotak amal
Kertas-kertas bukan lembaran togel

Kutatap masa depan sepi akan nasehat-nasehat
Kebijakan-kebijakan seperti bau kentut!
Dan semua pandai menganggap
Yang anggapan yang logis
Yang prediksi yang masuk akal
Yang dibincang ialah segala yang 'menjadi'

Aku di sini!
Kalian di sana!
Maka, bolehlah aku berkata
Karena boleh tidak cukup dengan 'iya'
Karena boleh adalah stempel-stempel
Karena boleh adalah kewajiban
Karena boleh bukan lagi hak dan kebebasan

Kubiarkan dinding itu tetap tegak
Memetak lapisan-lapisan
Menyekat kata dan kasta
Lalu aku bersembunyi
Seperti anak kecil di balik tembok-tembok tua
Aku akan berkata saat mereka terpejam
Menghentak saat mereka lena
Lalu kita tertawa


Followers

Catatan Gila © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO